Pantun
Rawa dihuni buaya
Makan rusa dengan lahap
Jika hidup ingin kaya
Tak cukup dengan meratap
Talibun
Adik tertidur telungkup
Mulutnya pun sampai berbuih
Bantal belang banjir basah
Lebih baik hidup cukup
Daripada hidup berlebih
Hidup tak tentram hati resah
Seloka
Kayu jati bertimbal
jalan,
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan
Syair
Tikus jalang telah beraksi
Menggerogoti uang bukan nasi
Hukum agung beralih fungsi
Kejujuran dianggap basi
Mulut lebar dan wajah gendut
Merobek hokum tanpa takut
Kejujuran mati dibalut
Negeri ini pun semakin kalut
Si ratu adil tak kunjung datang
Membela rakyat untuk menang
Sungguh senang si tikus belang
Makan uang dengan tenang
Gurindam
Barang siapa semakin merunduk
Pasti rejeki akan tunduk
Karmina
Baju merah, celana putih
Jangan marah, sabar dilatih
Puisi Baru
Noda
Di Balik Sucinya Dwiwarna
Reformasi telah
dikumandngkan
Semua mata tertuju pada
masa depan cemerlang
Mereka ingin gelap jadi
pelangi
Batu-batu kejujuran
Mereka bangun dengan
peluh
Kini, mereka tertunduk
lesu
Melihat rayap
menggerogoti pondasi pancasila
Dengan lahap tanpa
cemas
Mendulang emas penuh
dengan rasa bela
Entah masihkah berkenan
Hukum yang sering
dielukan
Hukum yang penuh segan
Menjadi jalan terang
Harapan jadi angan
ketika hokum berkarat masih jadi pedoman
Rayap bersatu
menghantam hokum
Menghambat Negara
Menghardik rakyat
Sangat digemarinya
Dwiwarna menjadi saksi
bisu
Tegak berkibar di
langit Indonesia
Warna agung merah
putihnya
Ternoda oleh kejahatan
busuk
Mungkin rakyat sudah
lelah
Hokum yang seharusnya
diandalkan
Hanya beraga tak
bernyawa
Entah sampai kapan
(Tutik nur faizah X3/30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar