Malu
Karena Tak Dengar Nasihat Ibu
Pagi itu aku
terbangun ketika matahari sudah berdiri tegap di kaki langit timur, dan
diiringi kicauan burung yang hendak pergi dari sarangnya untuk mencari makan.
Tak seperti biasanya aku bangun terlambat, tak ku dengar juga suara ibu yang
biasa membuyarkan mimpi-mimpiku seperti biasanya. Mungkin ibu mengerti
keadaanku yang kelelahan, karena malamnya aku baru saja pulang dari saudara
jauhku. Untungnya hari itu adalah hari Minggu, hari dimana orang berpaling
sejenak dari aktifitas-aktifitas yang melelahkan. Seperti biasa, setelah aku
bangun aku langsung menunaikan kewajibanku sebagai muslim yaitu menjalankan
ibadah solat seperti yang orang tua tanamkan padaku, walaupun sudah tidak masuk
waktu subuh aku tidak mempermasalahkannya, karena waktu itu aku masih berumur 4
tahun, wajar saja jika pengetahuan agamaku belum terlalu dalam. Setelah
menunaikan solat, aku langsung menyalakan dan melihat televisi sejenak, kegiatan
yang paling aku suka, berharap ada acara yang aku sukai. Setelah mengganti
beberapa channel TV, akhirnya
kutemukan acara kesayanganku. Cukup lama aku berkutat dengan kegiatan yang
selalu diprotes ibuku ini, karena ketika aku sudah duduk nyaman di kursi rotan
depan TV, aku jadi lupa waktu, wajar saja kalau setiap Minggu pagi aku selalu
mendengar ibuku mengomel.
“Tutik!” panggil ibu kepadaku. Ku pikir itu pasti awal
omelan ibu yang setiap Minggu pagi tak pernah ketinggalan, jika diibaratkan
sinetron omelan ibu tayang stripping. “Iya bu, sebentar” jawabku dengan takut,
tapi karena omelan ibu seperti angin bagiku jadi dengan langkah santai aku
mendekat ke tempat ibu berada. Benar saja dugaanku ibu mengomel seperti biasa,
ku lihat tanggannya mengaduk telur yang akan digoreng, sementara terlihat
minyak goreng yang disiapkan mulai panas, aku berharap dengan kesibukannya itu,
ibu jadi lupa untuk memarahiku, namun di tengah-tengah mengaduk telur, ibu
masih sempat mengomel kepadaku, aku terpaksa mendengarkannya dan mengiyakan
semua perkataannya. “Kamu jangan menonton TV terus dong, bantu ibu sekali-kali,
nih masih banyak kerjaan.” Ucap ibu. Dengan nada kesal karena masih terasa
kelelahan yang menggerayangi badan aku berkata “Ini kan hari Minggu bu, masa aku nggak boleh
istirahat barang sebentar saja?”. Namun, tak selesai sampai disitu, ibu terus
memberondongku dengan omelan-omelan yang sedang tak ingin ku dengar. Aku pun
meninggalkan ibu dengan hati kesal. Akhirnya selesai sudah aku mendapat jatah
omelan ibuku, baru saja aku duduk di kursi rotan di depan TV yang menjadi saksi
betapa gemarnya aku menonton TV, sayup-sayup kudengar suara memanggilku. Aku
pun segera beranjak dari tempat dudukku lalu ku tengok dari balik korden,
ternyata teman-temanku sudah berada di depan rumahku lengkap dengan sepedanya
masing-masing. Segera saja kumatikan TV lalu menemui teman-temanku, memang kami
sudah biasa bersepeda di Minggu pagi, tapi hari itu aku merasa tak mampu
mengayuh sepeda kecil berwarna hijauku itu, namun aku teringat kalau kami akan
menemui teman kami yang baru pulang dari Yogyakarta setelah 1 tahun tinggal
disana dan kita bisa juga dikatakan cukup dekat, jadi rasa rindu sudah sangat
terasa. Ku kayuh sepedaku dengan lamban, aku terasa seperti mengayuh seonggok
besi tua yang sangat berat. Ketika ku ketuk pintu rumahnya, tak kudengar adanya
jawaban dan tak ku lihat adanya sepatu yang biasa terpajang di teras rumahnya.
Mungkin ia sedang pergi, pikirku. Lalu kami kembali dengan masih menahan rindu
yang sudah bergejolak hingga menyesakkan dada, tapi apa boleh buat mungkin
belum ditakdirkan bertemu sekarang.
Aku pun kembali kerumah dengan rasa dongkol, kulanjutkan
kegiatan menonton TV ku dan kembali kudapatkan omelan ibuku sampai kenyang
rasanya mendapat omelan sepanjang hari, sampai aku lupa sarapan pagiku.
Setengah hari itu kurasakan tak seperti hari-hari Minggu yang biasanya, aku
merasa bosan sekali. Sementara teman-temanku yang lain masih asyik bermain
petak umpet di depan rumahku. Mereka berulang kali mengajakku bermain, tetapi
memang suasana hati pada saat itu tak mendukung, aku pun tak ikut bermain.
“Ibu, aku ingin makan, aku lapar!” teriakku pada ibu, “Siapa suruh kamu tidak
sarapan pagi?” jawab ibuku. Betul juga apa kata ibu, memang aku pernah
mendengar bahwa sarapan pagi memang sangat penting. Aku makan sarapan yang
disiapkan oleh ibu sekitar jam 10, yang sudah tidak bias lagi disebut sarapan
pagi. Aku makan dengan lahap ditemani kartun “Dora the Explorer” yang sedang
mencari suatu tempat seperti biasanya, sambil membayangkan seperti apa wajah
teman lamaku ini. Setelah selesai makan, ku kembalikan piring kotor ke tempat
bak cuci, dan ku lihat juga masih banyak piring kotor menggunung. Ibu memang
sangat sibuk kala itu, karena ibu sedang mengandung adik pertamaku jadi wajar
saja kalau pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Sebenarnya aku ingin sekali
membantu ibu, tapi kemalasanku mengalahkan keinginanku membantu ibu.
Suara mobil menderu dari arah selatan, ternyata temanku
itu baru pulang dari tempat saudara-saudaranya. Aku ingin sekali menemuinya,
namun aku merasa canggung karena sudah lama tak bertemu. Lalu seorang dari
temanku mengatakan padaku kalau hari ini ulang tahunnya dan ia mengundangku.
Betapa senang hatiku karena selain Ia teman lamaku, ini juga merupakan undangan
pesta ulang tahun pertamaku. Kutanyakan tentang kartu undangan yang seharusnya
menyertai undangan pesta ulang tahunnya, namun Fitri berkata bahwa undangan ini
mendadak jadi tidak ada undangan yang di bagi. Tanpa berpikir panjang aku
langsung percaya pada perkataan Fitri. Aku pun pulang dengan perasaan ceria
terbayang tentang permainan-permainan yang biasa dimainkan di pesta ulang tahun
seperti kata teman-temanku juga kue tart warna-warni yang ingin segera aku
rasakan. Aku mengatakan hal tersebut pada ibu, namun ibu meragukan hal itu
karena tidak ada kartu undangan. Aku tak peduli dengan pendapat ibu karena
begitu senangnya mendapat undangan pesta ulang tahun pertamaku, aku terus saja
merengek agar ibu mau membelikan kado yang biasa menyertai perayaan pesta ulang
tahun. Ibu pun mengalah padaku dan membelikan dua buah buku tulis dan dua
pensil, namun aku ingin kado yang tidak biasa untuk teman lamaku ini, jadi aku
minta kadonya dibelikan di toko pernak-pernik yang hanya ada jauh dari rumah.
Dengan bekal uang yang diberikan ibu, aku berangkat dengan ayah. Di tengah
perjalanan sepeda motor yang dinaiki kempes dan harus dipompa, tetapi kulihat
tidak ada bengkel di sekitar daerah itu, aku pun menangis menjadi-jadi karena
takut tertinggal acara. Dengan penuh pengorbanan sampai juga kami di toko
pernak-pernik tersebut dan kuputuskan untuk membeli sebuah boneka beruang kecil
berwarna biru, kubungkus di tempat itu juga.
Aku pulang dengan hati yang berdebar, segera saja kuganti
bajuku dengan baju yang paling bagus menurutku. Aku berangkat ke rumahnya dan
kulihat tidak ada orang. Mungkin sudah selesai acara itu pikirku, aku menangis
terisak-isak dan meminta nenek untuk menemaniku kesana. Ku bawa kado yang sudah
terbungkus rapi itu dan kusembunyikan di belakang punggungku. Sesampai di
rumahnya, nenek mengetok pintu dan tak lama teman lamaku dan ibunya keluar
menyambut dengan senyum, aku pun membalas dengan senyum simpul. Nenek
menanyakan perihal acara ulang tahun itu, alangkah kagetnya aku ternyata acara
ulang tahunnya sudah terlewat 3 hari yang lalu. Ternyata Fitri menipuku segera saja
kupalingkan muka ke belakang punggung nenekku dan menahan rasa malu yang amat
sangat. Bukannya pesta ramai yang dari tadi kubayangkan yang kudapat, malah
rasa malu yang tak bisa kulukiskan. Aku pulang tertunduk dengan rasa malu juga
rasa menyesal karena sudah menyusahkan orang tua dan tidak mendengarkan nasihat
yang diberikan. Sesampai di rumah aku masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Di
dalam aku terus menyesali apa yang baru saja ku perbuat, aku terus menangis
sambil menutup wajahku dengan bantal sampai bantal yang semula bersih berubah
lusuh karena basah terkena air mataku yang terus mengalir seperti aliran Sungai
Nil yang tak pernah kering. Aku dengar suara mendekat ke pintu kamarku. Segera
saja ku basuh air mata yang sedari tadi meluncur malalui kelopak mataku dengan sapu
tangan merah yang ku ambil dari lemari. “Nak, buka pintunya.” Suara itu
terdengar dari balik pintu kamar, dan aku tahu kalau itu suara ibu. Ku buka
pintu kamar, dan kudapati wajah ibu yang biasa menenangkanku di saat aku sedang
ada masalah. Ibu masuk dan membelai dengan lembut rambutku yang terikat. “tidak
apa-apa, lain kali kalau ibu memberi nasihat didengarkan dong! Ibu kan nggak ingin ngeliat
anak ibu yang cantik ini nangis lagi. Oke?” ucap ibuku dengan penuh perhatian.
“Iya bu.” Jawabku dengan serak, karena masih ada sisa-sisa tangis yang masih
tertahan. Ibu pun mencoba menidurkanku, dengan sabar Ia menuruti segala
pintaku, mulai dari menyanyi nina bobo, sampai menceritakan dongeng-dongeng
sebelum tidur, ku lihat wajah ibu seperti malaikat waktu itu, aku pun tertidur
sambil memeluk ibu dengan erat. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi
anaknya dan sifat membangkang bukanlah sesuatu yang pantas untuk membalas kasih
sayang orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar