Kamis, 11 April 2013

Cerpen



Malu Karena Tak Dengar Nasihat Ibu

Pagi itu aku terbangun ketika matahari sudah berdiri tegap di kaki langit timur, dan diiringi kicauan burung yang hendak pergi dari sarangnya untuk mencari makan. Tak seperti biasanya aku bangun terlambat, tak ku dengar juga suara ibu yang biasa membuyarkan mimpi-mimpiku seperti biasanya. Mungkin ibu mengerti keadaanku yang kelelahan, karena malamnya aku baru saja pulang dari saudara jauhku. Untungnya hari itu adalah hari Minggu, hari dimana orang berpaling sejenak dari aktifitas-aktifitas yang melelahkan. Seperti biasa, setelah aku bangun aku langsung menunaikan kewajibanku sebagai muslim yaitu menjalankan ibadah solat seperti yang orang tua tanamkan padaku, walaupun sudah tidak masuk waktu subuh aku tidak mempermasalahkannya, karena waktu itu aku masih berumur 4 tahun, wajar saja jika pengetahuan agamaku belum terlalu dalam. Setelah menunaikan solat, aku langsung menyalakan dan melihat televisi sejenak, kegiatan yang paling aku suka, berharap ada acara yang aku sukai. Setelah mengganti beberapa channel TV, akhirnya kutemukan acara kesayanganku. Cukup lama aku berkutat dengan kegiatan yang selalu diprotes ibuku ini, karena ketika aku sudah duduk nyaman di kursi rotan depan TV, aku jadi lupa waktu, wajar saja kalau setiap Minggu pagi aku selalu mendengar ibuku mengomel.
            “Tutik!” panggil ibu kepadaku. Ku pikir itu pasti awal omelan ibu yang setiap Minggu pagi tak pernah ketinggalan, jika diibaratkan sinetron omelan ibu tayang stripping. “Iya bu, sebentar” jawabku dengan takut, tapi karena omelan ibu seperti angin bagiku jadi dengan langkah santai aku mendekat ke tempat ibu berada. Benar saja dugaanku ibu mengomel seperti biasa, ku lihat tanggannya mengaduk telur yang akan digoreng, sementara terlihat minyak goreng yang disiapkan mulai panas, aku berharap dengan kesibukannya itu, ibu jadi lupa untuk memarahiku, namun di tengah-tengah mengaduk telur, ibu masih sempat mengomel kepadaku, aku terpaksa mendengarkannya dan mengiyakan semua perkataannya. “Kamu jangan menonton TV terus dong, bantu ibu sekali-kali, nih masih banyak kerjaan.” Ucap ibu. Dengan nada kesal karena masih terasa kelelahan yang menggerayangi badan aku berkata “Ini kan hari Minggu bu, masa aku nggak boleh istirahat barang sebentar saja?”. Namun, tak selesai sampai disitu, ibu terus memberondongku dengan omelan-omelan yang sedang tak ingin ku dengar. Aku pun meninggalkan ibu dengan hati kesal. Akhirnya selesai sudah aku mendapat jatah omelan ibuku, baru saja aku duduk di kursi rotan di depan TV yang menjadi saksi betapa gemarnya aku menonton TV, sayup-sayup kudengar suara memanggilku. Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku lalu ku tengok dari balik korden, ternyata teman-temanku sudah berada di depan rumahku lengkap dengan sepedanya masing-masing. Segera saja kumatikan TV lalu menemui teman-temanku, memang kami sudah biasa bersepeda di Minggu pagi, tapi hari itu aku merasa tak mampu mengayuh sepeda kecil berwarna hijauku itu, namun aku teringat kalau kami akan menemui teman kami yang baru pulang dari Yogyakarta setelah 1 tahun tinggal disana dan kita bisa juga dikatakan cukup dekat, jadi rasa rindu sudah sangat terasa. Ku kayuh sepedaku dengan lamban, aku terasa seperti mengayuh seonggok besi tua yang sangat berat. Ketika ku ketuk pintu rumahnya, tak kudengar adanya jawaban dan tak ku lihat adanya sepatu yang biasa terpajang di teras rumahnya. Mungkin ia sedang pergi, pikirku. Lalu kami kembali dengan masih menahan rindu yang sudah bergejolak hingga menyesakkan dada, tapi apa boleh buat mungkin belum ditakdirkan bertemu sekarang.
            Aku pun kembali kerumah dengan rasa dongkol, kulanjutkan kegiatan menonton TV ku dan kembali kudapatkan omelan ibuku sampai kenyang rasanya mendapat omelan sepanjang hari, sampai aku lupa sarapan pagiku. Setengah hari itu kurasakan tak seperti hari-hari Minggu yang biasanya, aku merasa bosan sekali. Sementara teman-temanku yang lain masih asyik bermain petak umpet di depan rumahku. Mereka berulang kali mengajakku bermain, tetapi memang suasana hati pada saat itu tak mendukung, aku pun tak ikut bermain. “Ibu, aku ingin makan, aku lapar!” teriakku pada ibu, “Siapa suruh kamu tidak sarapan pagi?” jawab ibuku. Betul juga apa kata ibu, memang aku pernah mendengar bahwa sarapan pagi memang sangat penting. Aku makan sarapan yang disiapkan oleh ibu sekitar jam 10, yang sudah tidak bias lagi disebut sarapan pagi. Aku makan dengan lahap ditemani kartun “Dora the Explorer” yang sedang mencari suatu tempat seperti biasanya, sambil membayangkan seperti apa wajah teman lamaku ini. Setelah selesai makan, ku kembalikan piring kotor ke tempat bak cuci, dan ku lihat juga masih banyak piring kotor menggunung. Ibu memang sangat sibuk kala itu, karena ibu sedang mengandung adik pertamaku jadi wajar saja kalau pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Sebenarnya aku ingin sekali membantu ibu, tapi kemalasanku mengalahkan keinginanku membantu ibu.
            Suara mobil menderu dari arah selatan, ternyata temanku itu baru pulang dari tempat saudara-saudaranya. Aku ingin sekali menemuinya, namun aku merasa canggung karena sudah lama tak bertemu. Lalu seorang dari temanku mengatakan padaku kalau hari ini ulang tahunnya dan ia mengundangku. Betapa senang hatiku karena selain Ia teman lamaku, ini juga merupakan undangan pesta ulang tahun pertamaku. Kutanyakan tentang kartu undangan yang seharusnya menyertai undangan pesta ulang tahunnya, namun Fitri berkata bahwa undangan ini mendadak jadi tidak ada undangan yang di bagi. Tanpa berpikir panjang aku langsung percaya pada perkataan Fitri. Aku pun pulang dengan perasaan ceria terbayang tentang permainan-permainan yang biasa dimainkan di pesta ulang tahun seperti kata teman-temanku juga kue tart warna-warni yang ingin segera aku rasakan. Aku mengatakan hal tersebut pada ibu, namun ibu meragukan hal itu karena tidak ada kartu undangan. Aku tak peduli dengan pendapat ibu karena begitu senangnya mendapat undangan pesta ulang tahun pertamaku, aku terus saja merengek agar ibu mau membelikan kado yang biasa menyertai perayaan pesta ulang tahun. Ibu pun mengalah padaku dan membelikan dua buah buku tulis dan dua pensil, namun aku ingin kado yang tidak biasa untuk teman lamaku ini, jadi aku minta kadonya dibelikan di toko pernak-pernik yang hanya ada jauh dari rumah. Dengan bekal uang yang diberikan ibu, aku berangkat dengan ayah. Di tengah perjalanan sepeda motor yang dinaiki kempes dan harus dipompa, tetapi kulihat tidak ada bengkel di sekitar daerah itu, aku pun menangis menjadi-jadi karena takut tertinggal acara. Dengan penuh pengorbanan sampai juga kami di toko pernak-pernik tersebut dan kuputuskan untuk membeli sebuah boneka beruang kecil berwarna biru, kubungkus di tempat itu juga.
            Aku pulang dengan hati yang berdebar, segera saja kuganti bajuku dengan baju yang paling bagus menurutku. Aku berangkat ke rumahnya dan kulihat tidak ada orang. Mungkin sudah selesai acara itu pikirku, aku menangis terisak-isak dan meminta nenek untuk menemaniku kesana. Ku bawa kado yang sudah terbungkus rapi itu dan kusembunyikan di belakang punggungku. Sesampai di rumahnya, nenek mengetok pintu dan tak lama teman lamaku dan ibunya keluar menyambut dengan senyum, aku pun membalas dengan senyum simpul. Nenek menanyakan perihal acara ulang tahun itu, alangkah kagetnya aku ternyata acara ulang tahunnya sudah terlewat 3 hari yang lalu. Ternyata Fitri menipuku segera saja kupalingkan muka ke belakang punggung nenekku dan menahan rasa malu yang amat sangat. Bukannya pesta ramai yang dari tadi kubayangkan yang kudapat, malah rasa malu yang tak bisa kulukiskan. Aku pulang tertunduk dengan rasa malu juga rasa menyesal karena sudah menyusahkan orang tua dan tidak mendengarkan nasihat yang diberikan. Sesampai di rumah aku masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Di dalam aku terus menyesali apa yang baru saja ku perbuat, aku terus menangis sambil menutup wajahku dengan bantal sampai bantal yang semula bersih berubah lusuh karena basah terkena air mataku yang terus mengalir seperti aliran Sungai Nil yang tak pernah kering. Aku dengar suara mendekat ke pintu kamarku. Segera saja ku basuh air mata yang sedari tadi meluncur malalui kelopak mataku dengan sapu tangan merah yang ku ambil dari lemari. “Nak, buka pintunya.” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar, dan aku tahu kalau itu suara ibu. Ku buka pintu kamar, dan kudapati wajah ibu yang biasa menenangkanku di saat aku sedang ada masalah. Ibu masuk dan membelai dengan lembut rambutku yang terikat. “tidak apa-apa, lain kali kalau ibu memberi nasihat didengarkan dong! Ibu kan nggak ingin ngeliat anak ibu yang cantik ini nangis lagi. Oke?” ucap ibuku dengan penuh perhatian. “Iya bu.” Jawabku dengan serak, karena masih ada sisa-sisa tangis yang masih tertahan. Ibu pun mencoba menidurkanku, dengan sabar Ia menuruti segala pintaku, mulai dari menyanyi nina bobo, sampai menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur, ku lihat wajah ibu seperti malaikat waktu itu, aku pun tertidur sambil memeluk ibu dengan erat. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan sifat membangkang bukanlah sesuatu yang pantas untuk membalas kasih sayang orang tua.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar