Kamis, 11 April 2013

Descriptive text



My Classmate

I have many classmates. All of them are good friends but there is one of my friends that has unique behaviour. His name is Elyas Julio Aur Bero but we often calls him Bero. Bero comes from NTT which is one of the wonderful islands in Indonesia. He moved from NTT 3 years ago and now he lives in ”Perumahan Pabrik Gula”. He was born on 20 Juny 1997 and now he is 15 years old.
Bero is chubby and fat but he is also tall. Bero has curly black hair and dark brown skin. He always wears black jacket when he rides his motorcycle to school. Bero also has scar on his left hand. That is all because of accident when he was child.
Bero likes drawing, he always draws in all situation even in the class. His pictures are so interesting. He is the funniest person in the classroom. He always tells us funny jokes. When I see him I want to laughs. She always shows his lazy face when he was facing problems, any problems. His friends likes him very much. If there is Bero there is happiness.
Tutik Nur Faizah (X3/30)
 

   

Resensi "Ayam Kampung Petelur"



Ayam Kampung Petelur

Judul buku          : Ayam Kampung Petelur
Penulis                : Kliwon Sujionohadi & Ade Iwan Setiawan
Penerbit               : Penebar Swadaya
Edisi                    : Revisi
Tebal buku         : ii + 90 halaman

          Sekarang ini membudidayakan ayam kampung petelur sedang diminati oleh kalangan pengusaha ternak, karena membutuhkan modal yang tidak terlalu banyak dan menghasilkan keuntungan yang besar. Sudah banyak yang memulai usaha ini namun  tidak banyak orang yang berhasil membudidayakannya dikarenakan pengetahuan yang minim akan tata cara berbudidaya ayam kampung petelur.
          Alasan tersebut yang membuat buku ini diterbitkan. Untuk bertujuan membantu para pengusaha pemula yang ingin berbudidaya ayam kampung petelur. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyusun budget untuk membeli semua kebutuhan yang dibutuhkan, seperti pembelian bibit ayam kampung, pembelian pangan ayam, pembuatan kandang dan biaya pemberian vitamin terhadap ayam kampung. Buku ini juga menampilkan berbagai cara untuk panen serta pola keuntungan yang akan didapatkan. Pangan merupakan salah satu faktor penting selain kandang dan budget dalam beternak ayam petelur,
          Setelah budget disusun, bisa dilanjutkan dengan pemeliharaan ayam secara tepat dengan cara membersihkan kandang seminggu sekali, memberi vaksin, pemberian pangan yang sesuai. Jika hal tersebut telah dilakukan secara tepat, maka budidaya ayam kampung petelur sudah berhasil.
Buku tersebut sangat membantu para peternak ayam kampung petelur pemula, karena berisi penjelasan mendetail tentang tata cara beternak ayam, mulai dari persiapan budget sampai panen telur. Namun banyak tulisan yang terlalu bertele-tele sehingga sulit untuk dipahami oleh para pembaca.

Identifikasi Puisi



LAPORAN HASIL DISKUSI PUISI KARYA TAUFIK ISMAIL
“MEMBACA TANDA-TANDA”















 












Disusun oleh :
Ahmad Fajrul Yustika                    2
Elvera Dwi Andini                           11
Nuriana Rahmawan                      24
Tutik Nur Faizah                             30




Membaca Tanda-tanda
Karya Taufik Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan                     Citraan Peraba
dan meluncur lewat sela-sela jari kita


 
Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas                                Citraan Perasaan
Tapi kita kini mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya                    Citraan Penglihatan
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari                             Citraan Pendengaran

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun                                                                        Citraan Penglihatan
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan                           Citraan Penglihatan
Karbon dioksida itu menggilas paru-paru                                      Citraan Kinestetik

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor                                                                       Citraan Penglihatan dan kinestetik
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?                                                Citraan Penglihatan

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama                                                         Citraan Penglihatan
kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda


 
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan        Citraan Peraba
Akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukannya                                                   Citraan Perasaan




Isi puisi            :
Di dalam puisi “Membaca Tanda-tanda”, banyak gejala alam yang Taufik Ismail ambil sebagai sumber inspirasinya, misalnya dalam bait kedua, ketiga, keempat, sampai bait ketujuh.
Taufik Ismail ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan, mengamati perubahan alam yang terjadi, merenungi semua yang telah dilakukan yang di dalam puisinya memakai pilihan kata “membaca”: membaca gempa, disapu banjir, dihalau api dan hama, dihujani abu dan batu.
Bait pertama merupakan ungkapan Taufik Ismail yang merasa kehilangan sesuatu, yang dirasakan juga oleh manusia yang lain, namun sesuatu itu belum jelas. Tetapi, pada bait selanjutnya, Taufik Ismail memberikan tanda-tanda yang membuatnya merasa kehilangan dan dilanda kerinduan, tanda-tanda itu diantaranya: udara yang telah berwarna abu-abu (lambang untuk pencemaran udara yang terjadi pada saat ini), air danau yang semakin surut, burung-burung yang tak lagi berkicau (akibat tak ada tempat bagi mereka untuk bersarang).
Pencemaran udara, penebangan hutan, perburuan liar, dan sebagainya telah membawa dan mengundang berbagai macam bencana, mulai dari gunung berapi, gempa bumi, longsor, dan banjir. Manusia telah merusak alam dan menimbulkan kerusakan alam.
Pada bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan menandakan suatu kesadaran dan rasa ingin kembali, doa, dan pengampunan dosa seorang hamba kepada Sang Kuasa.
Kemudian, dalam bait kesepuluh dan kesebelas berisi tentang pernyataan ulang tentang sesuatu yang dirasa telah hilang dan kini mulai dirindukan, yaitu suasana alami yang asri, suasana alam sebelum dirusak oleh tangan-tangan manusia.

Tujuan Penulis:
Melalui puisi “Membaca Tanda-tanda” Taufik Ismail ingin mengajak pembaca melakukan kegiatan membaca terhadap gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar kita. Kemampuan Taufik Ismail membaca tanda-tanda zaman tersebut sebagai suatu kabar kepada kita agar memperhatikan gejala alam yang semakin lama lepas dari genggaman tangan kita. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang harus kita raih kembali seperti mulanya. Manusia tentu akan merindukan suasana yang alami, yang asri, suasana alam sebelum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Membaca tanda-tanda zaman seperti yang dilakukan oleh Taufik ismail sebagai suatu tanggapan tentang kenyataan.

Lita's cerpen



Tiga Hari Berjuta Rasa

            Hari ini atau tepatnya pagi ini, aku akan pergi ke kota Kartini atau Kota Rembang, ya kota yang lumayan jauh dari Weleri. Mungkin lebih tepatnya, tiga hari ke depan aku dan teman-teman pramuka SMP N 1 Weleri akan unjuk kebolehan dan beradu pengetahuan tentang kepramukaan. Ini mungkin pertama kalinya bagiku dan teman-teman mengikuti pramuka atau Jambore Se-Jawa Tengah di luar daerah Kendal, apalagi harus menginap, tentunya menjadi pengalaman yang luar biasa.
“Dik, bangun nanti kesiangan”. Sementara aku masih berkutat dengan mimpiku bertemu idolaku. “Suara itu pasti ibu”, pikirku dalam hati dengan mata masih tertutup. “Iya”, jawabku singkat, sementara mata ini masih enggan untuk terbuka. “Jangan iya-iya saja, ini sudah jam setengah lima, nanti kamu terlambat ke sekolah”, kata ibu seraya menepuk bahuku. “Hari ini kamu harus berangkat jam 5, kan”, tuturnya. “Wah, iya. Haari ini aku harus berangkat ke Rembang untuk itu aku harus berangkat jam 5 pagi”, gumamku dalam hati seyara membuka mata dan bergegas menuju kamar mandi. Karena tergesa-gesa kakiku mengenai pintu kamar yang tebuka setengah. “Aduh, kakiku” aku meringis kesakitan. “Makanya hati-hati. Dan kalau ada acara besok pagi jangan tidur kemaleman, gini deh akibatnya. Tidur kok kaya kerbau”, ledek kakaku. Mungkin ada benarnya juga kata kakakku yang paling perhatian, semalam aku tidur pukul 12.00, karena menonton pertandingan bola antara Mancahster United vs Barcelona, jelas saja aku menonton karena ada Mu, tim favouritku, walaupun harus kalah dari Barcelona. “Siapa yang ada di kamar mandi?”, tanyaku dengan nada keras. “ Ayah”. “Wah aku harus mandi dimana”, gumamku. “Makanya, jangan bangun kesiangan, jadinya nggak heboh sendiri”, kata ayahku. Sial, kena omel lagi, mungkin pagi ini aku menjadi bahan omelan orang rumah, ya mungkin memang begitu, salahku sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi di rumah nenek, untung rumah nenekku bersebelahan.
Setelah selesai mandi dan sarapan, tepat pukul 5 kurang 10 menit aku berangkat ke sekolah. “Apa?”, gumamku dalam hati. Jelas saja aku kaget ternyata baru 5 orang saja yang datang, padahal aku kira sudah banyak orang yang datang. Tapi sebenarnya ini bukan satu hal yang sangat mengagetkan, kejadian seperti ini sudah biasa, selalu tidak tepat waktu. Jangankan muridnya, gurunyapun baru satu orang yang datang, seharusnya ada 3 orang. Dalam peribahasa Jawa istilah guru berarti “Digugu lan Ditiru” mungkin istilah itu yang “dianut” oleh teman-temanku yang lain, hahahaha. Akhirnya, tepat pukul 5.30 semua siswa dan guru berkumpul, ternyata hanya ada lima orang ditambah satu orang guru yang benar-benar disiplin, termasuk aku. “Naik bis endel”, gumamku dalam hati. Ya mungkin itu hal biasa apalagi hanya untuk lomba pramuka, sekolah tidak mungkin menyediakan dana yang lebih untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi siswanya, sebenarnya aku harus bersyukur walaupun dengan bis endel, daripada harus naik truk. “Hah, bis endel lagi!”, kata Dini, salah satu temanku. Kata ‘lagi’ sepertinya menjadi suatu kebiasaan, yang berarti naik bis endel terus. “Sudah, nggak apa-apa. Daripada kamu naik truk”, kata salah satu guru yang ikut ke Rembang. Okelah, tidak apa-apa. Oh, tidak, rasanya seperti berada di ruangan yang tidak ada jendela maupun ventilasi udaranya, rasanya sangat pengap, kami harus berdesak-desakkan, satu kursi untuk dua orang. Bayangkan kami harus berdesak-desakkan selama berjam-jam. “Bu, sempit sekali”, teriak salah satu temanku yang duduk di belakang. “Sabar” hanya kata itu yang muncul dari guruku. Ya, mau tidak mau kami menikmati kenyamanan berdesak-desakkan dalam ‘endel’. Selama diperjalanan, banyak dari kami yang tertidur pulas, termasuk aku. ‘Macet’, wah sangat menjengkelkan, kami sudah melupakan desak-desakkan itu, kenapa harus dibuat jengkel lagi dengan kemacetan. Kenapa macet harus sampai Rembang, padahal macet sering identik dengan kota Jakarta.
Akhirnya setelah kurang lebih 5 jam menempuh perjalanan, kami sampai di Bumi Perkemahannya. Tempatnya sangat jauh dari keramaian kota, hanya beberapa rumah penduduk saja yang ada sisanya adalah hutan, mungkin karena inilah tempat ini dijadikan bumi perkemahan. “Alhamdulillah, sampai juga”, cetus salah satu temanku. Mungkin kata-kata seperti itu yang ingin juga aku katakan, tapi aku hanya mengatakannya untuk diriku sendiri alias dalam hati. Sepertinya, kami selalu mendapat kesusahan, ternyata lokasi untuk perkemahannya masih jauh, jadi kami harus berjalan kaki sambil membawa barang bawaan kami yang sangat berat karena jalannya sempit sehingga tidak bisa dilalui bis.  “Hah, nanjak?”, kataku. “Hah, kenapa susah banget sih, untuk sampai ke perkemahannya”, lanjut temanku. Ya, ternyata jalan yang ditempuh berkelok dan menanjak. Regu putri dan putra berpisah tempat, kami yang putri berjalan ke arah Utara sementara putra ke arah selatan.
Ternyata sudah banyak yang datang, ada yang dari Kabupaten Kudus, Jepara, Demak, dll. Maklum saja ini kan Jambore Se-Jawa Tengah. Akhirnya setelah semua perjalanan yang melelahkan terlampaui, kami sampai di lokasi perkemahannya. Kami bersama dengan SMP 2 Cepiring, SMP 2 Kendal, SMA N 1 Weleri, SMA N 1 Kendal, dll, menempati lokasi Kabupaten Kendal. Setelah meletakan barang-barang, kami bergegas mendirikan tenda karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Hampir satu jam kami mendirikan tenda tetapi belum selesai juga “Hah, belum selesai, punya kita sudah”, ledek temna laki-lakiku. “Biarin”, jawab temnku ketus. Yah, akhirnya siswa putra ikut turun tangan juga, tidak lebih dari 30 menit tenda selesai. “Alhamdulillah”, kata Mia, salah satu temanku. “Coba saja kalau tidak ada kami, pasti selesai besok”, ledek temanku (lagi). Kami pun beristirahat sebentar.
Kegiatan dimulai pada malam hari, tepatnya acara pembukaan. Semua siswa diwajibkan memakai pakaian pramuka lengkap dan datang dilokasi upacara tepat pukul 20.00. “Dimana musholanya?”, tanyaku. “Nggak tahu, mungkin di bawah sana?”, jawab temanku. Akhirnya aku dan beberapa temanku yang akan menunaikan ibadah salat maghrib pergi ke bawah . “Oh, tidak”, kata temanku. Jelas saja di seperti itu, mushola yang ada hanya satu sementara manusianya ratusan orang. “Mbak, airnya nggak ada”, kata seseorang anak pramuka yang tidak kami kenal mengingatkan. “Nggak ada ya, Mbak?” tanyaku. “Iya, nggak ada airnya”, katanya. “Terus gimana?”, keluh temanku. Akirnya kami memutuskan untuk mencari kamar mandi yang sepi dan salat di tenda.
Tepat pukul 20.00, kami sudah tiba di lokasi upacara pembukaan. “Ramai, ya”, kataku kaget. “Ya iyalah, Neng. Se-Jawa kok!”, jawab temanku. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, acara pembukaan dimulai. Acara pertama adalah sambutan dari Kamabicab. Dilanjutkan sambutan dari panitia untuk memberitahu jadwal kegiatan selam 3 hari kedepan. Selanjutnya pembacaan Dasa Dharma, Pancasila, dll. Acara ditutup dengan konser musik kecil-kecilan yang menmpilkan sederet lagu-lagu nasional. Karena kami semua sudah mengantuk jadi kami memutuskan untuk kembali ke tenda lebih awal.
Esok harinya, kami bersiap untuk mengikuti beberapa perlombaan seperti semaphore, yel-yel, uji ketangkasan, PBB, menaksir tinggi dan lebar sungai, dll. “Ah, jauh”, keluh Dini. “Iya, very jauh”, sambungku. Jelaslah, dimana-mana mencari jejak itu membutuhkan jarak yang jauh. Pukul 11.00 kami tiba di pos terakhir yaitu uji ketangkasan. Di sini kami diharuskan berjalan di atas bambu tanpa pegangan, berjalan di atas tambang dengan satu tali di atasnya. “Aduh, sakit”, keluhku. Ya aku terjatuh saat berjalan di atas tambang, aku kurang begitu bisa menjaga keseimbangan, dan sedikit takut. “Nggak apa-apa, Cik”, tanya temanku. “Nggak”, tapi sebenarnya lumayan sakit. Setelah semua kegiatan dihari ituu selesai kami bergegas untuk pulang ke tenda.
Sore harinya, kami pergi ke kamar mandi khusus untuk kabupaten Kendal, ya, masing-masing kabupaten mendapat 5 kamar mandi. “Subhanallah, banyak banget manusianya”, kata temanku. Ternyata 5 kamar mandi yang ada hanya ada tiga kamar mandi yang berfungsi, haduh. Setelah menunggu beberapa lama, tiba giliran kami untuk mandi. Tapi...”Ih, aku nggak mau mandi kalau air dan tempatnya seperti ini”, keluh temanku. Mungkin aku akan berpendapat sama. Jelas saja, airnya keruh, dan tempatnya bau dan banyak sampah bungkus shampoo yang dibuang begitu saja di lingkungan kamar mandi.            “Terus gimana?”, tanyaku. “Ya udah, kita nggak usah mandi tapi cuci muka saja”, jawab temanku. “Oh tidak”, gumamku. Akhirnya kami memutusakan untuk tidak mandi.
            “Bu, lapar”, tanya seorang siswa laki-laki yang kebetulan pada waktu itu sedang berkumpul di tenda perempuan. “Iya, Bu”, kata semua anak secara bersamaan. Mungkin seperti ini rasanya hidup jauh dari orang tua. Tidak lama kemudian nasi box yang dipesan datang. Nasi rames dengan telur dan teh hangat, sangat mengenyangkan. Malam harinya diadakan lomba paduan suara antar kabupaten, dari kabupaten kendal diwakili oleh SMA N 1 Weleri. Sebelum acara dimulai, diadakan acara pemutaran film perjuangan Jenderal Sudirman, kami diajak untuk merasakan betapa hebat dan beratnya perjuangan Sudirman pada saat itu. “Ah, lama”, ketus temanku. Mungkin aku sedikit merasakan hal itu. Zaman sekarang jika dilihat-lihat rasa cinta tanah air anak muda Indonesia sudah bekurang, mereka lebih menyukai budaya-budaya asing, termasuk aku. Setelah 1 jam pemutaran film, dilanjutkan dengan perlombaan paduan suara, kabupaten Kendal mendapat nomor undi 8. “Ih, bagus-bagus ya”, kataku. “Iyalah”, jawab temanku. Ternyata kekuatan fisik kami sudah mengendor, kami sudah sangat mengantuk dan sudah tidak kuat lagi jika menunggu sampai undi ke 8. Kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Lucunya sampai di tenda, kami tidak bisa tidur. “Ye, Hidup Kendal”. Terdengar teriakan dari beberapa orang. Alangkah terkejutnya kami melihat seorang siswa laki-laki membawa piala juara 1 untuk kabupaten Kendal. Ternyata paduan suara dari kaabupaten Kendal meraih juara pertama. “Ye, hebat Mas, Mbak”, teriak kami bersamaan. Malam itu kami baru bisa tidur pukul 1 dinihari, waw.
Keesokan harinya, kami bangun pukul 4.30 pagi. Kami lantas menuju sumur yang berada di bawah lokasi tenda kami untuk mengambil wudhu. “Ah, mau pipis”, gumamku, tapi pada saat itu semua kamar mandi penuh dan tidak ada tempat untuk mandi maupun buang air. Setelah salat kami kembali ke sumur itu untuk cuci muka. “Ah, udah kebelet”. Aku tidak bisa menahan rasa ingin pipis ini, hingga akhirnya aku terpaksa buang air di celana “Oh, tidak”, gumamku. Itu adalah hal yang paling bodoh yang aku lakukan yaitu ‘ngompol’. Aku benar-benar malu, tapi untung saja tidak ada yang tahu.
Kegiatan selanjutnya adalah outbond, disini tiap regu harus mewakilkan 10 orang putra dan putri. Tapi pada kegiatan kali ini aku tidak ikut outbond melainkan menjaga tenda bersama Mia, temanku. Kesempatan ini kami gunakan untuk mandi, maklum saja sudah dua hari kami tidak mandi rasanya sangat tidak nyaman. Bu Romdonah selaku salah satu pembina kami menjaga tenda sementara kami mandi. Aku dan Mia mencari kamar mandi yang kosong. “Padahal masih ada kegiatan, tapi tetap saja tidak ada kamr mandi yang kosong”, keluh Mia. Akhirnya kami memutuskan untuk mengantre di salah satu kamar mandi yang cukup bersih jika dibanding yang lainnya. Hampir 30 menit kami antre, akhirnya tiba giliran kami berdua yang mandi. “Alhamdulillah, segarnya”, kataku seusai mandi. Kami pun kembali ke tenda. “Oh, tidak, hujan”. Ya setiba di tenda hujan mulai turun. Kami mengemasi barang-barnag yang ada di tenda barang, karena tenda barang yang dipakai tembus air. “Ah, habis mandi kotor lagi”, kata Mia. Selang beberapa saat hujan mulai reda, dan teman-temanku yang mengikuti kegiatan outbond juga sudah kembali. “Kotor semua”, kata salah satu temanku yang ikut outbond. Ya, baju mereka kotor penuh lumpur.
Malam harinya adalah acara penutupan, kami melaksanakan upacara penutupan dengan khidmat. “Lama”, keluh salah satu temanku. “Ya, lama”, keluh yang lain. Jika dibandingkan dengan upacara pembukaan, pada upacara penutupan me\mang terasa lebih lama. Pada acara ini juga nanti akan diumukan juara 1, 2, 3 Jambore se-Jawa Tengah. Tetapi sebelum itu ada acara konser musik yang berlangsung kira-kira 15 menit. Setelah itu diumumkan juara lomab Jambore kali ini. Alangkah senang dan bahagianya kami ketika disebutkan juara 3 adalah kabupaten Kendal. “Ye”, kami pun bersorak kegirangan. “Alhamdulillah”, ucapku sembari loncat-lonacat bersama yang lain. Malam itu deretan tenda kabupaten Kendal riuh, kami menghabiskan malam dengan bernyanyi ria. SMA N 1 Weleri sebagai perwakilan mengarak piala juara 3 di sekitar lokasi tenda kabupaten Kendal. Walaupun tidak mendapat juara 1 tapi kami sudah sangat senang. Hampir kami tidak bisa tidur malam itu, mungkin sekitar jam 2 kami baru bisa tidur, itupun hanya sebagian dari kami yang tidur, termasuk aku.
Esok paginya, tepatnya pukul 7, kami sedang berkemas-kemas untuk pulang. “Ye, pulang. Aku bosan disini”, kata salah satu temanku. “Ya, aku juga ingin cepat-cepat pulang”, kataku. Ya, kami semua sudah sangat ingin pulang. Tepat pukul 9 kami meninggalkan lokasi perkemahan. Ya, kami harus kembali berdesak-desakkan di bis, tapi itu semua terbayar lantaran kami semua akan pulang. Dan yang lebih menyenangkan Kendal pulang tanpa tangan kosong. “Wah, tumben nggak macet”, kata temanku. Tepat pukul 3 siang kami tiba di sekolah tercinta SMP N 1 Weleri, para orang tua sudah siap untuk menjemput putra putrinya yang sudah 3 hari pergi. “Wah, ayahku belum datang”, gumamku. Padahal cuaca saat itu mendung hampir  hujan. Setelah 10 menit menunggu akhirnya ayah tercinta datang juga, ye.. akhirnya aku pulang. “Adikku, mengapa kau hitam sekali”, ledek kakaku. “Enak aja”, kataku. Oh tidak, ternyata tiga hari itu mengubah kulitku, tak apa lah.
Tiga hari berjuta rasa, kalimat itu tepat sekali untuk mengutarakan kejadian selama tiga hari di Rembang. Ada sedih, senang, lucu, membosankan, dan masih banyak lagi.