Kamis, 11 April 2013

Lita's cerpen



Tiga Hari Berjuta Rasa

            Hari ini atau tepatnya pagi ini, aku akan pergi ke kota Kartini atau Kota Rembang, ya kota yang lumayan jauh dari Weleri. Mungkin lebih tepatnya, tiga hari ke depan aku dan teman-teman pramuka SMP N 1 Weleri akan unjuk kebolehan dan beradu pengetahuan tentang kepramukaan. Ini mungkin pertama kalinya bagiku dan teman-teman mengikuti pramuka atau Jambore Se-Jawa Tengah di luar daerah Kendal, apalagi harus menginap, tentunya menjadi pengalaman yang luar biasa.
“Dik, bangun nanti kesiangan”. Sementara aku masih berkutat dengan mimpiku bertemu idolaku. “Suara itu pasti ibu”, pikirku dalam hati dengan mata masih tertutup. “Iya”, jawabku singkat, sementara mata ini masih enggan untuk terbuka. “Jangan iya-iya saja, ini sudah jam setengah lima, nanti kamu terlambat ke sekolah”, kata ibu seraya menepuk bahuku. “Hari ini kamu harus berangkat jam 5, kan”, tuturnya. “Wah, iya. Haari ini aku harus berangkat ke Rembang untuk itu aku harus berangkat jam 5 pagi”, gumamku dalam hati seyara membuka mata dan bergegas menuju kamar mandi. Karena tergesa-gesa kakiku mengenai pintu kamar yang tebuka setengah. “Aduh, kakiku” aku meringis kesakitan. “Makanya hati-hati. Dan kalau ada acara besok pagi jangan tidur kemaleman, gini deh akibatnya. Tidur kok kaya kerbau”, ledek kakaku. Mungkin ada benarnya juga kata kakakku yang paling perhatian, semalam aku tidur pukul 12.00, karena menonton pertandingan bola antara Mancahster United vs Barcelona, jelas saja aku menonton karena ada Mu, tim favouritku, walaupun harus kalah dari Barcelona. “Siapa yang ada di kamar mandi?”, tanyaku dengan nada keras. “ Ayah”. “Wah aku harus mandi dimana”, gumamku. “Makanya, jangan bangun kesiangan, jadinya nggak heboh sendiri”, kata ayahku. Sial, kena omel lagi, mungkin pagi ini aku menjadi bahan omelan orang rumah, ya mungkin memang begitu, salahku sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi di rumah nenek, untung rumah nenekku bersebelahan.
Setelah selesai mandi dan sarapan, tepat pukul 5 kurang 10 menit aku berangkat ke sekolah. “Apa?”, gumamku dalam hati. Jelas saja aku kaget ternyata baru 5 orang saja yang datang, padahal aku kira sudah banyak orang yang datang. Tapi sebenarnya ini bukan satu hal yang sangat mengagetkan, kejadian seperti ini sudah biasa, selalu tidak tepat waktu. Jangankan muridnya, gurunyapun baru satu orang yang datang, seharusnya ada 3 orang. Dalam peribahasa Jawa istilah guru berarti “Digugu lan Ditiru” mungkin istilah itu yang “dianut” oleh teman-temanku yang lain, hahahaha. Akhirnya, tepat pukul 5.30 semua siswa dan guru berkumpul, ternyata hanya ada lima orang ditambah satu orang guru yang benar-benar disiplin, termasuk aku. “Naik bis endel”, gumamku dalam hati. Ya mungkin itu hal biasa apalagi hanya untuk lomba pramuka, sekolah tidak mungkin menyediakan dana yang lebih untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi siswanya, sebenarnya aku harus bersyukur walaupun dengan bis endel, daripada harus naik truk. “Hah, bis endel lagi!”, kata Dini, salah satu temanku. Kata ‘lagi’ sepertinya menjadi suatu kebiasaan, yang berarti naik bis endel terus. “Sudah, nggak apa-apa. Daripada kamu naik truk”, kata salah satu guru yang ikut ke Rembang. Okelah, tidak apa-apa. Oh, tidak, rasanya seperti berada di ruangan yang tidak ada jendela maupun ventilasi udaranya, rasanya sangat pengap, kami harus berdesak-desakkan, satu kursi untuk dua orang. Bayangkan kami harus berdesak-desakkan selama berjam-jam. “Bu, sempit sekali”, teriak salah satu temanku yang duduk di belakang. “Sabar” hanya kata itu yang muncul dari guruku. Ya, mau tidak mau kami menikmati kenyamanan berdesak-desakkan dalam ‘endel’. Selama diperjalanan, banyak dari kami yang tertidur pulas, termasuk aku. ‘Macet’, wah sangat menjengkelkan, kami sudah melupakan desak-desakkan itu, kenapa harus dibuat jengkel lagi dengan kemacetan. Kenapa macet harus sampai Rembang, padahal macet sering identik dengan kota Jakarta.
Akhirnya setelah kurang lebih 5 jam menempuh perjalanan, kami sampai di Bumi Perkemahannya. Tempatnya sangat jauh dari keramaian kota, hanya beberapa rumah penduduk saja yang ada sisanya adalah hutan, mungkin karena inilah tempat ini dijadikan bumi perkemahan. “Alhamdulillah, sampai juga”, cetus salah satu temanku. Mungkin kata-kata seperti itu yang ingin juga aku katakan, tapi aku hanya mengatakannya untuk diriku sendiri alias dalam hati. Sepertinya, kami selalu mendapat kesusahan, ternyata lokasi untuk perkemahannya masih jauh, jadi kami harus berjalan kaki sambil membawa barang bawaan kami yang sangat berat karena jalannya sempit sehingga tidak bisa dilalui bis.  “Hah, nanjak?”, kataku. “Hah, kenapa susah banget sih, untuk sampai ke perkemahannya”, lanjut temanku. Ya, ternyata jalan yang ditempuh berkelok dan menanjak. Regu putri dan putra berpisah tempat, kami yang putri berjalan ke arah Utara sementara putra ke arah selatan.
Ternyata sudah banyak yang datang, ada yang dari Kabupaten Kudus, Jepara, Demak, dll. Maklum saja ini kan Jambore Se-Jawa Tengah. Akhirnya setelah semua perjalanan yang melelahkan terlampaui, kami sampai di lokasi perkemahannya. Kami bersama dengan SMP 2 Cepiring, SMP 2 Kendal, SMA N 1 Weleri, SMA N 1 Kendal, dll, menempati lokasi Kabupaten Kendal. Setelah meletakan barang-barang, kami bergegas mendirikan tenda karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Hampir satu jam kami mendirikan tenda tetapi belum selesai juga “Hah, belum selesai, punya kita sudah”, ledek temna laki-lakiku. “Biarin”, jawab temnku ketus. Yah, akhirnya siswa putra ikut turun tangan juga, tidak lebih dari 30 menit tenda selesai. “Alhamdulillah”, kata Mia, salah satu temanku. “Coba saja kalau tidak ada kami, pasti selesai besok”, ledek temanku (lagi). Kami pun beristirahat sebentar.
Kegiatan dimulai pada malam hari, tepatnya acara pembukaan. Semua siswa diwajibkan memakai pakaian pramuka lengkap dan datang dilokasi upacara tepat pukul 20.00. “Dimana musholanya?”, tanyaku. “Nggak tahu, mungkin di bawah sana?”, jawab temanku. Akhirnya aku dan beberapa temanku yang akan menunaikan ibadah salat maghrib pergi ke bawah . “Oh, tidak”, kata temanku. Jelas saja di seperti itu, mushola yang ada hanya satu sementara manusianya ratusan orang. “Mbak, airnya nggak ada”, kata seseorang anak pramuka yang tidak kami kenal mengingatkan. “Nggak ada ya, Mbak?” tanyaku. “Iya, nggak ada airnya”, katanya. “Terus gimana?”, keluh temanku. Akirnya kami memutuskan untuk mencari kamar mandi yang sepi dan salat di tenda.
Tepat pukul 20.00, kami sudah tiba di lokasi upacara pembukaan. “Ramai, ya”, kataku kaget. “Ya iyalah, Neng. Se-Jawa kok!”, jawab temanku. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, acara pembukaan dimulai. Acara pertama adalah sambutan dari Kamabicab. Dilanjutkan sambutan dari panitia untuk memberitahu jadwal kegiatan selam 3 hari kedepan. Selanjutnya pembacaan Dasa Dharma, Pancasila, dll. Acara ditutup dengan konser musik kecil-kecilan yang menmpilkan sederet lagu-lagu nasional. Karena kami semua sudah mengantuk jadi kami memutuskan untuk kembali ke tenda lebih awal.
Esok harinya, kami bersiap untuk mengikuti beberapa perlombaan seperti semaphore, yel-yel, uji ketangkasan, PBB, menaksir tinggi dan lebar sungai, dll. “Ah, jauh”, keluh Dini. “Iya, very jauh”, sambungku. Jelaslah, dimana-mana mencari jejak itu membutuhkan jarak yang jauh. Pukul 11.00 kami tiba di pos terakhir yaitu uji ketangkasan. Di sini kami diharuskan berjalan di atas bambu tanpa pegangan, berjalan di atas tambang dengan satu tali di atasnya. “Aduh, sakit”, keluhku. Ya aku terjatuh saat berjalan di atas tambang, aku kurang begitu bisa menjaga keseimbangan, dan sedikit takut. “Nggak apa-apa, Cik”, tanya temanku. “Nggak”, tapi sebenarnya lumayan sakit. Setelah semua kegiatan dihari ituu selesai kami bergegas untuk pulang ke tenda.
Sore harinya, kami pergi ke kamar mandi khusus untuk kabupaten Kendal, ya, masing-masing kabupaten mendapat 5 kamar mandi. “Subhanallah, banyak banget manusianya”, kata temanku. Ternyata 5 kamar mandi yang ada hanya ada tiga kamar mandi yang berfungsi, haduh. Setelah menunggu beberapa lama, tiba giliran kami untuk mandi. Tapi...”Ih, aku nggak mau mandi kalau air dan tempatnya seperti ini”, keluh temanku. Mungkin aku akan berpendapat sama. Jelas saja, airnya keruh, dan tempatnya bau dan banyak sampah bungkus shampoo yang dibuang begitu saja di lingkungan kamar mandi.            “Terus gimana?”, tanyaku. “Ya udah, kita nggak usah mandi tapi cuci muka saja”, jawab temanku. “Oh tidak”, gumamku. Akhirnya kami memutusakan untuk tidak mandi.
            “Bu, lapar”, tanya seorang siswa laki-laki yang kebetulan pada waktu itu sedang berkumpul di tenda perempuan. “Iya, Bu”, kata semua anak secara bersamaan. Mungkin seperti ini rasanya hidup jauh dari orang tua. Tidak lama kemudian nasi box yang dipesan datang. Nasi rames dengan telur dan teh hangat, sangat mengenyangkan. Malam harinya diadakan lomba paduan suara antar kabupaten, dari kabupaten kendal diwakili oleh SMA N 1 Weleri. Sebelum acara dimulai, diadakan acara pemutaran film perjuangan Jenderal Sudirman, kami diajak untuk merasakan betapa hebat dan beratnya perjuangan Sudirman pada saat itu. “Ah, lama”, ketus temanku. Mungkin aku sedikit merasakan hal itu. Zaman sekarang jika dilihat-lihat rasa cinta tanah air anak muda Indonesia sudah bekurang, mereka lebih menyukai budaya-budaya asing, termasuk aku. Setelah 1 jam pemutaran film, dilanjutkan dengan perlombaan paduan suara, kabupaten Kendal mendapat nomor undi 8. “Ih, bagus-bagus ya”, kataku. “Iyalah”, jawab temanku. Ternyata kekuatan fisik kami sudah mengendor, kami sudah sangat mengantuk dan sudah tidak kuat lagi jika menunggu sampai undi ke 8. Kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Lucunya sampai di tenda, kami tidak bisa tidur. “Ye, Hidup Kendal”. Terdengar teriakan dari beberapa orang. Alangkah terkejutnya kami melihat seorang siswa laki-laki membawa piala juara 1 untuk kabupaten Kendal. Ternyata paduan suara dari kaabupaten Kendal meraih juara pertama. “Ye, hebat Mas, Mbak”, teriak kami bersamaan. Malam itu kami baru bisa tidur pukul 1 dinihari, waw.
Keesokan harinya, kami bangun pukul 4.30 pagi. Kami lantas menuju sumur yang berada di bawah lokasi tenda kami untuk mengambil wudhu. “Ah, mau pipis”, gumamku, tapi pada saat itu semua kamar mandi penuh dan tidak ada tempat untuk mandi maupun buang air. Setelah salat kami kembali ke sumur itu untuk cuci muka. “Ah, udah kebelet”. Aku tidak bisa menahan rasa ingin pipis ini, hingga akhirnya aku terpaksa buang air di celana “Oh, tidak”, gumamku. Itu adalah hal yang paling bodoh yang aku lakukan yaitu ‘ngompol’. Aku benar-benar malu, tapi untung saja tidak ada yang tahu.
Kegiatan selanjutnya adalah outbond, disini tiap regu harus mewakilkan 10 orang putra dan putri. Tapi pada kegiatan kali ini aku tidak ikut outbond melainkan menjaga tenda bersama Mia, temanku. Kesempatan ini kami gunakan untuk mandi, maklum saja sudah dua hari kami tidak mandi rasanya sangat tidak nyaman. Bu Romdonah selaku salah satu pembina kami menjaga tenda sementara kami mandi. Aku dan Mia mencari kamar mandi yang kosong. “Padahal masih ada kegiatan, tapi tetap saja tidak ada kamr mandi yang kosong”, keluh Mia. Akhirnya kami memutuskan untuk mengantre di salah satu kamar mandi yang cukup bersih jika dibanding yang lainnya. Hampir 30 menit kami antre, akhirnya tiba giliran kami berdua yang mandi. “Alhamdulillah, segarnya”, kataku seusai mandi. Kami pun kembali ke tenda. “Oh, tidak, hujan”. Ya setiba di tenda hujan mulai turun. Kami mengemasi barang-barnag yang ada di tenda barang, karena tenda barang yang dipakai tembus air. “Ah, habis mandi kotor lagi”, kata Mia. Selang beberapa saat hujan mulai reda, dan teman-temanku yang mengikuti kegiatan outbond juga sudah kembali. “Kotor semua”, kata salah satu temanku yang ikut outbond. Ya, baju mereka kotor penuh lumpur.
Malam harinya adalah acara penutupan, kami melaksanakan upacara penutupan dengan khidmat. “Lama”, keluh salah satu temanku. “Ya, lama”, keluh yang lain. Jika dibandingkan dengan upacara pembukaan, pada upacara penutupan me\mang terasa lebih lama. Pada acara ini juga nanti akan diumukan juara 1, 2, 3 Jambore se-Jawa Tengah. Tetapi sebelum itu ada acara konser musik yang berlangsung kira-kira 15 menit. Setelah itu diumumkan juara lomab Jambore kali ini. Alangkah senang dan bahagianya kami ketika disebutkan juara 3 adalah kabupaten Kendal. “Ye”, kami pun bersorak kegirangan. “Alhamdulillah”, ucapku sembari loncat-lonacat bersama yang lain. Malam itu deretan tenda kabupaten Kendal riuh, kami menghabiskan malam dengan bernyanyi ria. SMA N 1 Weleri sebagai perwakilan mengarak piala juara 3 di sekitar lokasi tenda kabupaten Kendal. Walaupun tidak mendapat juara 1 tapi kami sudah sangat senang. Hampir kami tidak bisa tidur malam itu, mungkin sekitar jam 2 kami baru bisa tidur, itupun hanya sebagian dari kami yang tidur, termasuk aku.
Esok paginya, tepatnya pukul 7, kami sedang berkemas-kemas untuk pulang. “Ye, pulang. Aku bosan disini”, kata salah satu temanku. “Ya, aku juga ingin cepat-cepat pulang”, kataku. Ya, kami semua sudah sangat ingin pulang. Tepat pukul 9 kami meninggalkan lokasi perkemahan. Ya, kami harus kembali berdesak-desakkan di bis, tapi itu semua terbayar lantaran kami semua akan pulang. Dan yang lebih menyenangkan Kendal pulang tanpa tangan kosong. “Wah, tumben nggak macet”, kata temanku. Tepat pukul 3 siang kami tiba di sekolah tercinta SMP N 1 Weleri, para orang tua sudah siap untuk menjemput putra putrinya yang sudah 3 hari pergi. “Wah, ayahku belum datang”, gumamku. Padahal cuaca saat itu mendung hampir  hujan. Setelah 10 menit menunggu akhirnya ayah tercinta datang juga, ye.. akhirnya aku pulang. “Adikku, mengapa kau hitam sekali”, ledek kakaku. “Enak aja”, kataku. Oh tidak, ternyata tiga hari itu mengubah kulitku, tak apa lah.
Tiga hari berjuta rasa, kalimat itu tepat sekali untuk mengutarakan kejadian selama tiga hari di Rembang. Ada sedih, senang, lucu, membosankan, dan masih banyak lagi.











Cerpen



Malu Karena Tak Dengar Nasihat Ibu

Pagi itu aku terbangun ketika matahari sudah berdiri tegap di kaki langit timur, dan diiringi kicauan burung yang hendak pergi dari sarangnya untuk mencari makan. Tak seperti biasanya aku bangun terlambat, tak ku dengar juga suara ibu yang biasa membuyarkan mimpi-mimpiku seperti biasanya. Mungkin ibu mengerti keadaanku yang kelelahan, karena malamnya aku baru saja pulang dari saudara jauhku. Untungnya hari itu adalah hari Minggu, hari dimana orang berpaling sejenak dari aktifitas-aktifitas yang melelahkan. Seperti biasa, setelah aku bangun aku langsung menunaikan kewajibanku sebagai muslim yaitu menjalankan ibadah solat seperti yang orang tua tanamkan padaku, walaupun sudah tidak masuk waktu subuh aku tidak mempermasalahkannya, karena waktu itu aku masih berumur 4 tahun, wajar saja jika pengetahuan agamaku belum terlalu dalam. Setelah menunaikan solat, aku langsung menyalakan dan melihat televisi sejenak, kegiatan yang paling aku suka, berharap ada acara yang aku sukai. Setelah mengganti beberapa channel TV, akhirnya kutemukan acara kesayanganku. Cukup lama aku berkutat dengan kegiatan yang selalu diprotes ibuku ini, karena ketika aku sudah duduk nyaman di kursi rotan depan TV, aku jadi lupa waktu, wajar saja kalau setiap Minggu pagi aku selalu mendengar ibuku mengomel.
            “Tutik!” panggil ibu kepadaku. Ku pikir itu pasti awal omelan ibu yang setiap Minggu pagi tak pernah ketinggalan, jika diibaratkan sinetron omelan ibu tayang stripping. “Iya bu, sebentar” jawabku dengan takut, tapi karena omelan ibu seperti angin bagiku jadi dengan langkah santai aku mendekat ke tempat ibu berada. Benar saja dugaanku ibu mengomel seperti biasa, ku lihat tanggannya mengaduk telur yang akan digoreng, sementara terlihat minyak goreng yang disiapkan mulai panas, aku berharap dengan kesibukannya itu, ibu jadi lupa untuk memarahiku, namun di tengah-tengah mengaduk telur, ibu masih sempat mengomel kepadaku, aku terpaksa mendengarkannya dan mengiyakan semua perkataannya. “Kamu jangan menonton TV terus dong, bantu ibu sekali-kali, nih masih banyak kerjaan.” Ucap ibu. Dengan nada kesal karena masih terasa kelelahan yang menggerayangi badan aku berkata “Ini kan hari Minggu bu, masa aku nggak boleh istirahat barang sebentar saja?”. Namun, tak selesai sampai disitu, ibu terus memberondongku dengan omelan-omelan yang sedang tak ingin ku dengar. Aku pun meninggalkan ibu dengan hati kesal. Akhirnya selesai sudah aku mendapat jatah omelan ibuku, baru saja aku duduk di kursi rotan di depan TV yang menjadi saksi betapa gemarnya aku menonton TV, sayup-sayup kudengar suara memanggilku. Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku lalu ku tengok dari balik korden, ternyata teman-temanku sudah berada di depan rumahku lengkap dengan sepedanya masing-masing. Segera saja kumatikan TV lalu menemui teman-temanku, memang kami sudah biasa bersepeda di Minggu pagi, tapi hari itu aku merasa tak mampu mengayuh sepeda kecil berwarna hijauku itu, namun aku teringat kalau kami akan menemui teman kami yang baru pulang dari Yogyakarta setelah 1 tahun tinggal disana dan kita bisa juga dikatakan cukup dekat, jadi rasa rindu sudah sangat terasa. Ku kayuh sepedaku dengan lamban, aku terasa seperti mengayuh seonggok besi tua yang sangat berat. Ketika ku ketuk pintu rumahnya, tak kudengar adanya jawaban dan tak ku lihat adanya sepatu yang biasa terpajang di teras rumahnya. Mungkin ia sedang pergi, pikirku. Lalu kami kembali dengan masih menahan rindu yang sudah bergejolak hingga menyesakkan dada, tapi apa boleh buat mungkin belum ditakdirkan bertemu sekarang.
            Aku pun kembali kerumah dengan rasa dongkol, kulanjutkan kegiatan menonton TV ku dan kembali kudapatkan omelan ibuku sampai kenyang rasanya mendapat omelan sepanjang hari, sampai aku lupa sarapan pagiku. Setengah hari itu kurasakan tak seperti hari-hari Minggu yang biasanya, aku merasa bosan sekali. Sementara teman-temanku yang lain masih asyik bermain petak umpet di depan rumahku. Mereka berulang kali mengajakku bermain, tetapi memang suasana hati pada saat itu tak mendukung, aku pun tak ikut bermain. “Ibu, aku ingin makan, aku lapar!” teriakku pada ibu, “Siapa suruh kamu tidak sarapan pagi?” jawab ibuku. Betul juga apa kata ibu, memang aku pernah mendengar bahwa sarapan pagi memang sangat penting. Aku makan sarapan yang disiapkan oleh ibu sekitar jam 10, yang sudah tidak bias lagi disebut sarapan pagi. Aku makan dengan lahap ditemani kartun “Dora the Explorer” yang sedang mencari suatu tempat seperti biasanya, sambil membayangkan seperti apa wajah teman lamaku ini. Setelah selesai makan, ku kembalikan piring kotor ke tempat bak cuci, dan ku lihat juga masih banyak piring kotor menggunung. Ibu memang sangat sibuk kala itu, karena ibu sedang mengandung adik pertamaku jadi wajar saja kalau pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Sebenarnya aku ingin sekali membantu ibu, tapi kemalasanku mengalahkan keinginanku membantu ibu.
            Suara mobil menderu dari arah selatan, ternyata temanku itu baru pulang dari tempat saudara-saudaranya. Aku ingin sekali menemuinya, namun aku merasa canggung karena sudah lama tak bertemu. Lalu seorang dari temanku mengatakan padaku kalau hari ini ulang tahunnya dan ia mengundangku. Betapa senang hatiku karena selain Ia teman lamaku, ini juga merupakan undangan pesta ulang tahun pertamaku. Kutanyakan tentang kartu undangan yang seharusnya menyertai undangan pesta ulang tahunnya, namun Fitri berkata bahwa undangan ini mendadak jadi tidak ada undangan yang di bagi. Tanpa berpikir panjang aku langsung percaya pada perkataan Fitri. Aku pun pulang dengan perasaan ceria terbayang tentang permainan-permainan yang biasa dimainkan di pesta ulang tahun seperti kata teman-temanku juga kue tart warna-warni yang ingin segera aku rasakan. Aku mengatakan hal tersebut pada ibu, namun ibu meragukan hal itu karena tidak ada kartu undangan. Aku tak peduli dengan pendapat ibu karena begitu senangnya mendapat undangan pesta ulang tahun pertamaku, aku terus saja merengek agar ibu mau membelikan kado yang biasa menyertai perayaan pesta ulang tahun. Ibu pun mengalah padaku dan membelikan dua buah buku tulis dan dua pensil, namun aku ingin kado yang tidak biasa untuk teman lamaku ini, jadi aku minta kadonya dibelikan di toko pernak-pernik yang hanya ada jauh dari rumah. Dengan bekal uang yang diberikan ibu, aku berangkat dengan ayah. Di tengah perjalanan sepeda motor yang dinaiki kempes dan harus dipompa, tetapi kulihat tidak ada bengkel di sekitar daerah itu, aku pun menangis menjadi-jadi karena takut tertinggal acara. Dengan penuh pengorbanan sampai juga kami di toko pernak-pernik tersebut dan kuputuskan untuk membeli sebuah boneka beruang kecil berwarna biru, kubungkus di tempat itu juga.
            Aku pulang dengan hati yang berdebar, segera saja kuganti bajuku dengan baju yang paling bagus menurutku. Aku berangkat ke rumahnya dan kulihat tidak ada orang. Mungkin sudah selesai acara itu pikirku, aku menangis terisak-isak dan meminta nenek untuk menemaniku kesana. Ku bawa kado yang sudah terbungkus rapi itu dan kusembunyikan di belakang punggungku. Sesampai di rumahnya, nenek mengetok pintu dan tak lama teman lamaku dan ibunya keluar menyambut dengan senyum, aku pun membalas dengan senyum simpul. Nenek menanyakan perihal acara ulang tahun itu, alangkah kagetnya aku ternyata acara ulang tahunnya sudah terlewat 3 hari yang lalu. Ternyata Fitri menipuku segera saja kupalingkan muka ke belakang punggung nenekku dan menahan rasa malu yang amat sangat. Bukannya pesta ramai yang dari tadi kubayangkan yang kudapat, malah rasa malu yang tak bisa kulukiskan. Aku pulang tertunduk dengan rasa malu juga rasa menyesal karena sudah menyusahkan orang tua dan tidak mendengarkan nasihat yang diberikan. Sesampai di rumah aku masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Di dalam aku terus menyesali apa yang baru saja ku perbuat, aku terus menangis sambil menutup wajahku dengan bantal sampai bantal yang semula bersih berubah lusuh karena basah terkena air mataku yang terus mengalir seperti aliran Sungai Nil yang tak pernah kering. Aku dengar suara mendekat ke pintu kamarku. Segera saja ku basuh air mata yang sedari tadi meluncur malalui kelopak mataku dengan sapu tangan merah yang ku ambil dari lemari. “Nak, buka pintunya.” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar, dan aku tahu kalau itu suara ibu. Ku buka pintu kamar, dan kudapati wajah ibu yang biasa menenangkanku di saat aku sedang ada masalah. Ibu masuk dan membelai dengan lembut rambutku yang terikat. “tidak apa-apa, lain kali kalau ibu memberi nasihat didengarkan dong! Ibu kan nggak ingin ngeliat anak ibu yang cantik ini nangis lagi. Oke?” ucap ibuku dengan penuh perhatian. “Iya bu.” Jawabku dengan serak, karena masih ada sisa-sisa tangis yang masih tertahan. Ibu pun mencoba menidurkanku, dengan sabar Ia menuruti segala pintaku, mulai dari menyanyi nina bobo, sampai menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur, ku lihat wajah ibu seperti malaikat waktu itu, aku pun tertidur sambil memeluk ibu dengan erat. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan sifat membangkang bukanlah sesuatu yang pantas untuk membalas kasih sayang orang tua.






Cerpen

Malu Karena Tak Dengar Nasihat Ibu

Pagi itu aku terbangun ketika matahari sudah berdiri tegap di kaki langit timur, dan diiringi kicauan burung yang hendak pergi dari sarangnya untuk mencari makan. Tak seperti biasanya aku bangun terlambat, tak ku dengar juga suara ibu yang biasa membuyarkan mimpi-mimpiku seperti biasanya. Mungkin ibu mengerti keadaanku yang kelelahan, karena malamnya aku baru saja pulang dari saudara jauhku. Untungnya hari itu adalah hari Minggu, hari dimana orang berpaling sejenak dari aktifitas-aktifitas yang melelahkan. Seperti biasa, setelah aku bangun aku langsung menunaikan kewajibanku sebagai muslim yaitu menjalankan ibadah solat seperti yang orang tua tanamkan padaku, walaupun sudah tidak masuk waktu subuh aku tidak mempermasalahkannya, karena waktu itu aku masih berumur 4 tahun, wajar saja jika pengetahuan agamaku belum terlalu dalam. Setelah menunaikan solat, aku langsung menyalakan dan melihat televisi sejenak, kegiatan yang paling aku suka, berharap ada acara yang aku sukai. Setelah mengganti beberapa channel TV, akhirnya kutemukan acara kesayanganku. Cukup lama aku berkutat dengan kegiatan yang selalu diprotes ibuku ini, karena ketika aku sudah duduk nyaman di kursi rotan depan TV, aku jadi lupa waktu, wajar saja kalau setiap Minggu pagi aku selalu mendengar ibuku mengomel.
            “Tutik!” panggil ibu kepadaku. Ku pikir itu pasti awal omelan ibu yang setiap Minggu pagi tak pernah ketinggalan, jika diibaratkan sinetron omelan ibu tayang stripping. “Iya bu, sebentar” jawabku dengan takut, tapi karena omelan ibu seperti angin bagiku jadi dengan langkah santai aku mendekat ke tempat ibu berada. Benar saja dugaanku ibu mengomel seperti biasa, ku lihat tanggannya mengaduk telur yang akan digoreng, sementara terlihat minyak goreng yang disiapkan mulai panas, aku berharap dengan kesibukannya itu, ibu jadi lupa untuk memarahiku, namun di tengah-tengah mengaduk telur, ibu masih sempat mengomel kepadaku, aku terpaksa mendengarkannya dan mengiyakan semua perkataannya. “Kamu jangan menonton TV terus dong, bantu ibu sekali-kali, nih masih banyak kerjaan.” Ucap ibu. Dengan nada kesal karena masih terasa kelelahan yang menggerayangi badan aku berkata “Ini kan hari Minggu bu, masa aku nggak boleh istirahat barang sebentar saja?”. Namun, tak selesai sampai disitu, ibu terus memberondongku dengan omelan-omelan yang sedang tak ingin ku dengar. Aku pun meninggalkan ibu dengan hati kesal. Akhirnya selesai sudah aku mendapat jatah omelan ibuku, baru saja aku duduk di kursi rotan di depan TV yang menjadi saksi betapa gemarnya aku menonton TV, sayup-sayup kudengar suara memanggilku. Aku pun segera beranjak dari tempat dudukku lalu ku tengok dari balik korden, ternyata teman-temanku sudah berada di depan rumahku lengkap dengan sepedanya masing-masing. Segera saja kumatikan TV lalu menemui teman-temanku, memang kami sudah biasa bersepeda di Minggu pagi, tapi hari itu aku merasa tak mampu mengayuh sepeda kecil berwarna hijauku itu, namun aku teringat kalau kami akan menemui teman kami yang baru pulang dari Yogyakarta setelah 1 tahun tinggal disana dan kita bisa juga dikatakan cukup dekat, jadi rasa rindu sudah sangat terasa. Ku kayuh sepedaku dengan lamban, aku terasa seperti mengayuh seonggok besi tua yang sangat berat. Ketika ku ketuk pintu rumahnya, tak kudengar adanya jawaban dan tak ku lihat adanya sepatu yang biasa terpajang di teras rumahnya. Mungkin ia sedang pergi, pikirku. Lalu kami kembali dengan masih menahan rindu yang sudah bergejolak hingga menyesakkan dada, tapi apa boleh buat mungkin belum ditakdirkan bertemu sekarang.
            Aku pun kembali kerumah dengan rasa dongkol, kulanjutkan kegiatan menonton TV ku dan kembali kudapatkan omelan ibuku sampai kenyang rasanya mendapat omelan sepanjang hari, sampai aku lupa sarapan pagiku. Setengah hari itu kurasakan tak seperti hari-hari Minggu yang biasanya, aku merasa bosan sekali. Sementara teman-temanku yang lain masih asyik bermain petak umpet di depan rumahku. Mereka berulang kali mengajakku bermain, tetapi memang suasana hati pada saat itu tak mendukung, aku pun tak ikut bermain. “Ibu, aku ingin makan, aku lapar!” teriakku pada ibu, “Siapa suruh kamu tidak sarapan pagi?” jawab ibuku. Betul juga apa kata ibu, memang aku pernah mendengar bahwa sarapan pagi memang sangat penting. Aku makan sarapan yang disiapkan oleh ibu sekitar jam 10, yang sudah tidak bias lagi disebut sarapan pagi. Aku makan dengan lahap ditemani kartun “Dora the Explorer” yang sedang mencari suatu tempat seperti biasanya, sambil membayangkan seperti apa wajah teman lamaku ini. Setelah selesai makan, ku kembalikan piring kotor ke tempat bak cuci, dan ku lihat juga masih banyak piring kotor menggunung. Ibu memang sangat sibuk kala itu, karena ibu sedang mengandung adik pertamaku jadi wajar saja kalau pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Sebenarnya aku ingin sekali membantu ibu, tapi kemalasanku mengalahkan keinginanku membantu ibu.
            Suara mobil menderu dari arah selatan, ternyata temanku itu baru pulang dari tempat saudara-saudaranya. Aku ingin sekali menemuinya, namun aku merasa canggung karena sudah lama tak bertemu. Lalu seorang dari temanku mengatakan padaku kalau hari ini ulang tahunnya dan ia mengundangku. Betapa senang hatiku karena selain Ia teman lamaku, ini juga merupakan undangan pesta ulang tahun pertamaku. Kutanyakan tentang kartu undangan yang seharusnya menyertai undangan pesta ulang tahunnya, namun Fitri berkata bahwa undangan ini mendadak jadi tidak ada undangan yang di bagi. Tanpa berpikir panjang aku langsung percaya pada perkataan Fitri. Aku pun pulang dengan perasaan ceria terbayang tentang permainan-permainan yang biasa dimainkan di pesta ulang tahun seperti kata teman-temanku juga kue tart warna-warni yang ingin segera aku rasakan. Aku mengatakan hal tersebut pada ibu, namun ibu meragukan hal itu karena tidak ada kartu undangan. Aku tak peduli dengan pendapat ibu karena begitu senangnya mendapat undangan pesta ulang tahun pertamaku, aku terus saja merengek agar ibu mau membelikan kado yang biasa menyertai perayaan pesta ulang tahun. Ibu pun mengalah padaku dan membelikan dua buah buku tulis dan dua pensil, namun aku ingin kado yang tidak biasa untuk teman lamaku ini, jadi aku minta kadonya dibelikan di toko pernak-pernik yang hanya ada jauh dari rumah. Dengan bekal uang yang diberikan ibu, aku berangkat dengan ayah. Di tengah perjalanan sepeda motor yang dinaiki kempes dan harus dipompa, tetapi kulihat tidak ada bengkel di sekitar daerah itu, aku pun menangis menjadi-jadi karena takut tertinggal acara. Dengan penuh pengorbanan sampai juga kami di toko pernak-pernik tersebut dan kuputuskan untuk membeli sebuah boneka beruang kecil berwarna biru, kubungkus di tempat itu juga.
            Aku pulang dengan hati yang berdebar, segera saja kuganti bajuku dengan baju yang paling bagus menurutku. Aku berangkat ke rumahnya dan kulihat tidak ada orang. Mungkin sudah selesai acara itu pikirku, aku menangis terisak-isak dan meminta nenek untuk menemaniku kesana. Ku bawa kado yang sudah terbungkus rapi itu dan kusembunyikan di belakang punggungku. Sesampai di rumahnya, nenek mengetok pintu dan tak lama teman lamaku dan ibunya keluar menyambut dengan senyum, aku pun membalas dengan senyum simpul. Nenek menanyakan perihal acara ulang tahun itu, alangkah kagetnya aku ternyata acara ulang tahunnya sudah terlewat 3 hari yang lalu. Ternyata Fitri menipuku segera saja kupalingkan muka ke belakang punggung nenekku dan menahan rasa malu yang amat sangat. Bukannya pesta ramai yang dari tadi kubayangkan yang kudapat, malah rasa malu yang tak bisa kulukiskan. Aku pulang tertunduk dengan rasa malu juga rasa menyesal karena sudah menyusahkan orang tua dan tidak mendengarkan nasihat yang diberikan. Sesampai di rumah aku masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Di dalam aku terus menyesali apa yang baru saja ku perbuat, aku terus menangis sambil menutup wajahku dengan bantal sampai bantal yang semula bersih berubah lusuh karena basah terkena air mataku yang terus mengalir seperti aliran Sungai Nil yang tak pernah kering. Aku dengar suara mendekat ke pintu kamarku. Segera saja ku basuh air mata yang sedari tadi meluncur malalui kelopak mataku dengan sapu tangan merah yang ku ambil dari lemari. “Nak, buka pintunya.” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar, dan aku tahu kalau itu suara ibu. Ku buka pintu kamar, dan kudapati wajah ibu yang biasa menenangkanku di saat aku sedang ada masalah. Ibu masuk dan membelai dengan lembut rambutku yang terikat. “tidak apa-apa, lain kali kalau ibu memberi nasihat didengarkan dong! Ibu kan nggak ingin ngeliat anak ibu yang cantik ini nangis lagi. Oke?” ucap ibuku dengan penuh perhatian. “Iya bu.” Jawabku dengan serak, karena masih ada sisa-sisa tangis yang masih tertahan. Ibu pun mencoba menidurkanku, dengan sabar Ia menuruti segala pintaku, mulai dari menyanyi nina bobo, sampai menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur, ku lihat wajah ibu seperti malaikat waktu itu, aku pun tertidur sambil memeluk ibu dengan erat. Orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan sifat membangkang bukanlah sesuatu yang pantas untuk membalas kasih sayang orang tua.
Rounded Rectangle: Tutik Nur Faizah (23/9A) 





Macam Puisi Lama



Pantun
Rawa dihuni buaya
Makan rusa dengan lahap
Jika hidup ingin kaya
Tak cukup dengan meratap

Talibun
Adik tertidur telungkup
Mulutnya pun sampai berbuih
Bantal belang banjir basah
Lebih baik hidup cukup
Daripada hidup berlebih
Hidup tak tentram hati resah

Seloka
Kayu jati bertimbal jalan,
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan
Syair
Tikus jalang telah beraksi
Menggerogoti uang bukan nasi
Hukum agung beralih fungsi
Kejujuran dianggap basi

Mulut lebar dan wajah gendut
Merobek hokum tanpa takut
Kejujuran mati dibalut
Negeri ini pun semakin kalut

Si ratu adil tak kunjung datang
Membela rakyat untuk menang
Sungguh senang si tikus belang
Makan uang dengan tenang

Gurindam
Barang siapa semakin merunduk
Pasti rejeki akan tunduk

Karmina
Baju merah, celana putih
Jangan marah, sabar dilatih






Puisi Baru


Noda Di Balik Sucinya Dwiwarna
Reformasi telah dikumandngkan
Semua mata tertuju pada masa depan cemerlang
Mereka ingin gelap jadi pelangi
Batu-batu kejujuran
Mereka bangun dengan peluh

Kini, mereka tertunduk lesu
Melihat rayap menggerogoti pondasi pancasila
Dengan lahap tanpa cemas
Mendulang emas penuh dengan rasa bela

Entah masihkah berkenan
Hukum yang sering dielukan
Hukum yang penuh segan
Menjadi jalan terang
Harapan jadi angan ketika hokum berkarat masih jadi pedoman

Rayap bersatu menghantam hokum
Menghambat Negara
Menghardik rakyat
Sangat digemarinya

Dwiwarna menjadi saksi bisu
Tegak berkibar di langit Indonesia
Warna agung merah putihnya
Ternoda oleh kejahatan busuk
Mungkin rakyat sudah lelah
Hokum yang seharusnya diandalkan
Hanya beraga tak bernyawa
Entah sampai kapan



(Tutik nur faizah X3/30)